Jogja Records Strore Club, komunitas lapak rilisan fisik asal Yogyakarta genap berusia 10th. Pada gelaran Record Store Day 2025, mereka sukses sedot sampai 5000 pengunjung dalam dua hari
Otakotormedia – Perayaan Record Store Day 2025 di Pasar Pujokusuman Yogyakarta menjadi momen istimewa bagi komunitas pelapak rilisan fisik di Jogja. Bukan hanya karena semaraknya acara yang digelar di lokasi unik, pasar sayur yang disulap menjadi surga musik malam hari, tetapi juga karena hari itu bertepatan dengan ulang tahun ke-10 Jogja Record Store Club atau JRSC.
Sebuah tonggak penting yang menandai satu dekade perjalanan komunitas pelapak ini dalam merawat budaya rilisan fisik dan menjadi bagian penting dari denyut skena musik independen di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Indonesia.
JRSC pertama kali terbentuk pada 10 April 2015 dari inisiatif kolektif para pelapak dan penggiat musik seperti Indra Menus (DoggyHouse Records), Tri / Sambrenk (Demajors Jogja), Didit, dan Harri Pa’de (Rilisan Fisik). Dimulai dari tawaran membuka stand di Festival Kesenian Yogyakarta, komunitas ini berkembang menjadi jaringan kuat yang tak hanya aktif di Jogja, tetapi juga merambah ke berbagai kota di Jawa Tengah seperti Klaten, Solo, dan Semarang.
Sepuluh tahun berlalu, JRSC bukan hanya tempat berkumpulnya penjual dan pembeli rilisan fisik, tapi juga wadah berbagi semangat dan pengetahuan tentang pentingnya distribusi musik dalam bentuk fisik.

Dalam wawancara bersama Harri Pa’de (Rilisan Fisik/RF), Tri Sambrenk (Demajors Jogja/Toko Musik Luwes), dan Andre (Lokal Space) terlihat jelas bagaimana JRSC menjaga konsistensi sekaligus membuka ruang kolaborasi dengan komunitas lain seperti Koloni Gigs, Kultura Space, dan Simak Siar pada gelaran Record Store Day 2025.
Sebelumnya, JRSC juga kerap bekerjasama dengan beberapa kolektif musik seperi YK/Booking, Samstrong Records dan Otakotor Records. Dari program rutin seperti Record Store Day atau kerap disingkat RSD dan Cassette Week, hingga proyek kolaboratif seperti kompilasi kaset dan event tur pelapak lintas kota, JRSC terus memperluas jangkauan sekaligus menjaga nilai-nilai kolektif yang menjadi ruh utama mereka.
Perayaan 10 tahun ini pun bukan sekadar nostalgia, tapi sebuah penegasan bahwa rilisan fisik dan kultur komunitasnya masih hidup, dan justru semakin relevan di tengah gempuran era digital. Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan untuk ngobrol bersama kawan-kawan JRSC.
Simak interview bersama Jogja Record Store Club (JRSC) dalam rangka merayakan 10th yang bertepatan dengan gelaran RSD 2025 berikut ini:
Halo mas, selamat pagi. Seneng banget bisa ngobrol bareng Jogja Record Store Club. Buat mengawali, bisa dijelasin gimana sih ceritanya Jogja Record Store Club (JRSC) bisa terbentuk?
Harri Pa’de:
Jogja record store club terbentuk 10 April 2015. Penggagasnya adalah temen-temen pelapak di Jogja yang mulai bermunculan, karena pada saat itu toko music, kaset dan rilisan fisik sudah mulai banyak.
Penggagasnya, Indra Menus (Doggy House Records), Tri/Sambrenk (Demajors Jogja), Didit dan Hari (Rilisan Fisik), Adit (Samstrong Records), Ari Minblasting dkk lain. Awalnya dapat tawaran buka stand di FKY (Festival Kesenian Jogja) di taman kuliner Yogyakarta.
Kurang lebih ada 10, mas Menus, mas Tri, Udin Altar Apokalips, Harri dan Didit (Rilisan Fisik), Udin Otakotor Records, Samstrong, Mindblasting, Fahrul, Fajrul, Yuda/FFWD/Yogya Music Store, Andes, Pengerat.
Awalnya khusus pelapak di Jogja aja, karena Namanya Jogja Records Store Club. Temen-temen yang gabung, tapi gak aktif ngelapak juga banyak.
Perjalanan Jogja Record Store Club Selama 10tahun
Program apa aja yang digagas sama kawan-kawan pelapak JRSC?
Harri Pa’de:
Sekarang ada dua, Record Store Day sama Cassette Store Day, yang sekrang ganti nama jadi Cassette Week.
Dulu kan ada juga rilisan fisik berupa kaset yang dirilis JRSC, apakah hingga saat ini masih berjalan? Lalu gimana prosesnya sampai jadi kompilasi?
Harri Pa’de:
Iya, kaset kompilasi. Seingatku, tahun 2017-2019 (sebelum pandemic) JRSC rilis kaset, JRSC Kompilasi itu. Waktu rilis perdana di Bentara Budaya. Ada 3 rilisan kaset, pokoknya warnanya kuning, merah, dan hitam.
Gak, karena gak ada yang ngurusin. Terakhir aku bikin tahun 2021. Karena sempet terhenti, karena yan pandemi. Akhirnya lama gaka ada yang ngurusin. Waktu itu band juga kayaknya gak produksi. Belum ada band yang baru Waktu itu.
Kalo yang awal-awal itu bisa tanya mas Menus. Kalo aku tahun 2021, itu aku yang bikin. Itu rilisan fisik sama koloni gigs. Itu bentuknya kaset, nama albumnya Fresh Meat. Ada sekitar 12 atau 14 band ya.
Kalo aku dulu itu rilis mulai dari Oktober 2020 sampai Oktober 2021. Karena Waktu itu banyak yang rilis, tapi gak bisa promo, karena pandemi toh itu. Jadinya kita bikini kompilasi sebanyak 100 pcs dan sold out. Hanya kaset aja, gak sempet bikin apa-apa. Itu cuma sekali aja, gak ada uangnya soale.

Gimana proses pembagian kepada band, baik itu royalti, dll?
Harri Pa’de:
Itu semua produksi dari RF, nanti keuntungan dari penjualan bagi dua sama band. Mereka juga dapet jatah kaset aja Waktu itu. Dapet 2 kaset untuk tiap band dan writer notes. Itu yang ngisi writer notes ada mas menus (Relamati Records), mas Desta (Musik Jogja), dan mas Arga (Journey Records).
Apa dampaknya buat band dan atau musis setelah rilis kompilasi lewat JRSC?
Harri Pa’de:
Banyak band yang ke notice juga habis itu. Karena mereka terbantu promo. Tapi banyak juga yang bubar bandnya. Ada The Melting Minds, sama apalagi ya, lupa. Kemudian kita bikin press release dan kirim ke berbagai media. Eh kemarin di RSD 2025 malah ada yang jual berapa gitu ya, seratusan ribu lebih itu kaset kompilasinya.
Sampai saat ini animonya masih kenceng untuk rilisan itu? Apakah ada rencana untuk dibuat ulang?
Harri Pa’de:
Masih banyak, karena kemarin masih banyak yang nyari juga habis RSD 2025 itu. Pokoknya selama aku lihat masih ada yang jual berarti masih laku.
Ya rutin paling bikin RSD, Cassette Week. Kemudian kalo ada temen-temen musisi atau band-band yang lagi tour ke Jogja, kita bantu jual merchandise dan kasetnya. Terus, tiap tahun kami sekarang ikut Cheery Pop Festival untuk mengurusi record store dan cherry market.
Jadi kita disuruh mengurusi record store, kita bikin pop up sama ngurusin cherry market untuk merchandise titipannya band-band yang manggung. Kita bikin juga sign-in session di dalamnya, jadi beli CD sekalian tanda tangan personil.
Dulu kan JRSC juga sering bikin acara Pop Up Podomoro, itu acara satu bulan full lapak jualan dan pameran. masih jalan?
Harri Pa’de:
Sekarang udah gak jalan lagi, itu gara-gara pandemi, sama KKF itu juga udah mulai sepi kayaknya. Jadinya udah gak diadakan lagi. Dari Kedai Kebun Forum (KKF) itu ngajakin, terus bikin selama sebulan toh itu, biasanya akhir tahun sampai selepas tahun baru.

Pop Up Podomoro: Lapak Rilisan Fisik, Pameran, dan Panggung Musik Merayakan Nostalgia
Apa dampaknya dari Pop Up Podomoro? Kalo ada yang tawaran lagi, apakah mau jalan lagi?
Harri Pa’de:
Iya, jadi banyak yang tahu JRSC itu apa, terus banyak barang-barang yang lama gak kejual, pas di podomoro jadi laku. Kan orang-orang jadi tahu ada toko kaset lagi kan. Semenjak dulu toko kaya Disc Tarra banyak yang tutup, jadi sekarang orang masih mau untuk membeli rilisan fisiknya karena dia melihat langsung di podomoro itu. Selain itu ada yang musisi atau band yang main juga di atas, lantai dua.
Ya masih mau kalo ada yang ngajakin lagi. Kalo sekarang karena terbatas lokasi/tempat jadi agak sulit kalo kami bikin kayak gitu. Tempat yang bisa mengakomodir selama Waktu tertentu, satu bulan itu. Belum ada ajakan lagi sejauh ini.
Gimana caranya untuk bisa ikut terlibat melapak, atau jualan di acara JRSC? dan apakah ada struktural pengurus di JRSC sendiri?
Harri Pa’de:
Ya misalnya ada slot lima lapak di acara tertentu, kita share di grup, siapa yang mau.
Kita gak ada kalo resmi seperti, ketua, bendahara, wakil gitu. JRSC itu berdasarkan inisiatif bareg-bareng aja. Aku yang masalah kayak RSD kemarin jadi coordinator pelapak, sebagai wakil dari JRSC ke panitia.
Terus kalo bendahara itu mas Didit, penasehat umum mas Menus dan mas Tri/Sambrenk. Yang lain kami kerjain Bersama. Kaya di Cherry Pop itu kami juga kerjain bareng-bareng. Pokoknya koordinatornya aku, siapa yang koordinator cherry market, siapa yang pop up nanti kita bagi tugas aja. Tapi gak ada yang structural gitu.
Kalau gak salah, saat ini sudah ada pelapak juga dari area Jateng diluar DIY yang kerap terlibat di acara JRSC?
Harri Pa’de:
Iya, dari Jateng dan DIY. Kalo di luar jogja itu ada Klaten, Solo, Muntilan, Magelang, Boyolali, Salatiga, Semarang, Pati, Kendal, Pekalongan, jadi itu Jateng dan DIY. Ya mereka itu dating ke Jogja. Jadi kayak RSD kemarin itu 40 lapak dari berbagai macam kota, gak cuma Jogja aja. Mereka dating sendiri, dengan biaya sendiri. Pokoknya kami urusin RSD, buat pendaftaran, dan temen-temen di luar kota ya pada mau semua ikut.
Kemudian, kalo mereka juga bikin RSD sendiri di kota masing-masing ya. Kaya di Solo itu Lokananta Records Store, terus Semarang itu akhir bulan April, kemudian Malang juga bikin, tapi ya gitu tergantung orangnya bisa apa engga.
Gimana acara RSD 2025 kemarin, bertepatan dengan 10th JRSC? Animo pengunjung mencari rilisan fisik pasca Pandemi masih tetap tinggi?
Tri/Sambrenk:
Ya Alhamdulillah. Antusiasnya sangat tinggi dan ramai. Mungkin karena selama Covid-19 itu acara sempet off, tapi ya kita masih ada kecil-kecilan. Ini yang ke-10, semakin tahun semakin ramai. Ya laku. Animonya masih tinggi, tapi tiap toko beda-beda sih. Terus dari pelapaknya, banyak wajah-wajah baru, penjual baru. Kemudian, pembeli baru banyak yang muncul, tapi pembeli atau kolektor lama juga masih ada gitu.
Kalo omset tahun ini sampai angka berapa? dan apa rilisan yang paling diburu di RSD 2025?
Tri/Sambrenk:
Ya kalau omset, sekitar 100 juta ada sih. Itu dari semua lapak. Seumpama dihitung, ada 40 lapak, dikali 2juta kan udah 80 juta. Nah tiap lapak kan pendapatannya berbeda-beda, itu sih.
Masih tetap CD sih. terus vinyl, kaset dan merchandise, gitu sih. Kalo sekarang CD kan harganya masih tetap biasa, sekitar 50-200 ribu. Kalo kaset kan sekarang yang baru-baru itu sudah 100ribuan lebih lah, minimal 75ribu. Kalo vinyl ya minimal 500 ribuan. Sekarag kaset malah melebihi Harga CD, hamper sama vinyl lah. Rilisan yang lama ikut naik juga harganya, minimal 50-100 ribu lah untuk kaset second.
Macem-macem sih, gak menonjol di satu genre musik, satu band, atau satu album itu engga. Masih random sih. Tapi juga gak bisa dipastikan, seumpama band A merilis album ini, kemudian itu laku keras, itu nggak juga. Semua rata. Lebih ke rock, metal, sama shoegaze sih untuk tahun ini, tapi untuk bandnya gak tentu. Mungkin The Adams, Noire, terus Nadine Amizah kayak gitu.
Untuk tahun 2025 ini kenapa acara RSD bisa diadakan di pasar Pujokusuman Jogja? Ko bisa kepikiran mas?
Tri/Sambrenk:
Ya tempatnya kita dari awal kan di bentara budaya. berapa kali pengen pindah ke tempat yang baru, terus tahun ini kan d pasar. Temen-temen juga kaget si, kenapa di pasar. Tapi ya melihat ruangnya itu bagus. Pasar yang kalau pagi itu buat jualan sayur, nah malamnya kita ubah buat jualan rilisan fisik. Yang mungkin di Indonesia belum pernah ada yang melakukan jualan rilisan fisik di pasar sayur kaya gitu ya. Yang bener-bener pasar jualan sayur kayak gitu.
Ya jam 1-2 siang kita mulai. Memang di pasar sayur itu jam 1-2 itu sudah selesai semua, pedagang sayur itu sudah pada selesai jualan, sudah bersih. Terus nanti jam 10 malam itu kita selesai, lapak rilisan fisiknya di bongkar, barangnya dikasih ke Gudang, kita bersihkan juga tempatnya, biar besok pagi sudah bisa dipakai lagi sama pedagang sayur.
Record Store Day 2025, Acara di Pasar Sayur Hingga Kontribusi Kolektif Musik di Yogyakarta
Ini gila sih konsepnya, gimana soal perijinan dan proses penyelenggaraan acara RSD 2025?
Tri/Sambrenk:
Itu komunikasinya sama mas Hari sih yang lebih tau detailnya. Mungkin ini sih, dari Koloni Gigs, terus Kultura Space, sama Simak Siar, itu yang ngurusin semua rangkaian acaranya. Untuk JRSC cuma langsung kita buka pendaftaran, dan jualan di pasar itu. Cuma dibantu diurusin sama temen-temen komunitas Koloni Gigs, Kultura Space, sama Simak Siar itu. Temen-temen JRSC focus jualan.
Harri Pa’de:
Jadi JRSC ngurusin pelapak. Simak Siar ngurusin panggung gigs. Koloni Gigs ngurusin media. Kultura Space itu yang ngurusin event-nya.
Nah gimana prosesnya bisa Kerjasama dengan komunitas lain untuk acara JRSC, khususnya di RSD 2025 kemarin?
Tri, Andre, Harri:
Itu mulai tahun kemarin, eh tapi sudah berjalan sekitar tiga tahun. Iya tiga tahun kebelakang.
Berarti saat ini JRSC sudah bisa dibilang berkembang pesat, karena sudah bisa melibatkan banyak pihak untuk RSD tahunan?
Andre:
Iya berkembang. Karena dari awal aku diajak sama mas Tri itu kan tahun 2016 atau 2017 kayaknya di Bentara Budaya. Mas ingat toh, aku jualan ciok? Itu kan saat hujan-hujan itu aku diajak, ayo jualan. Pada saat itu kalo jualan rilisan fisik aku belum berani, aku jualan cilok saja.
Nah itu kan tak lihat dari tahun ke tahun. Gelarang RSD itu semakin tahun semakin ramai. Dan itu kalau dari temen-temen Klaten melihat bahwa ternyata temen-temen pelapak itu juga ada yang bisa bikin acara.
Kemudian tahun 2017 itu juga aku akhirnya mengajak temen-temen JRSC untuk ngelapak di Klaten. Waktu itu Cassette Store Day ya mas Tri tahun 2017, di bulan Oktober itu. Mas Didit dan mas Hari Rilisan Fisik juga ikut Waktu itu. Waktu itu kita juga sempet ke Semarang toh rame-rame.
Jadi ada agenda Tour pelapak JRSC juga, efek dari banyaknya pelapak yang kerap kali terlibat?
Andre:
Iya, ho ooh. Waktu itu dari Klaten, Solo ke Lokananta, terus ke Semarang. Dan itu seingatku event pertama temen-temen Klaten tahun 2017. Itu event pertama Cassette Store Day meskipun geliatnya pada saat itu masih sedikit. Dan aku tidak punya ekspektasi seperti gelaran kalau di Jogja, kan itu sudah beda. Karena disini untuk pelapaknya juga masih sedikit toh.
Nah semakin berkembangnya, pas era Pandmei itu kan muncul toko-toko online merchandise tuh, sehingga ya berpengaruh dengan kemunculan band-band baru.
Apalagi dengaan kemunculan The Jeblogs ya. Aku juga gak mengerti apakah temen-temen di Klaten berfikir bahwa rilisan fisik itu sebagai promo karya. Apakah hanya sebatas mengikuti, seperti misalnya band-band yang sudah punya karya, tanpa memperhatikan bagaimana mendistribusikan karya tersebut.
Menurutku adanya JRSC itu juga sebagai wawasan dan wacana baru bagi temen-temen di Klaten.
Apakah kemudian ini mempengaruhi temen-temen di luar kota, termasuk Klaten untuk bikin acara seperti JRSC?
Andre:
Itu muncul Sintesis, terus Mini Garasi itu dari Klaten. Jadi munculnya wajah-wajah baru seperti di Jogja, dan ranahnya di online. Kemudian di Facebook juga banyak, kayak penjual kaset-kaset itu dari Klaten. Kemarin ada yang ikut RSD juga.
Kan besok rencana ada RSD di Klaten, ada banyak pelapak yang mau ikut juga. Kalo perbandingannya dengan di Jogja yang cukup jauh. karena di Jogja sudah berjalan beberapa kali, kalo di Klaten kan baru aja. Itu juga sebagai perayaan aja, seneng-seneng dan konsepnya mencoba mendokumentasikan karya dalam bentuk rilisan fisik. Seperti itu sih upaya yang kami lakukan.
Bukan ke arah penjualan, lebih ke pengarsipan karya dan lebih kaya silaturahmi para penjual merchandise dan band/musisi pada Waktu itu. Ya kemudian dari situ muncul juga band-band baru seperti apa itu ya, Mataram Waves.
Harri Pa’de:
Mataram City Sounds
Kontribusi Simak Siar, Koloni Gigs, Kultura Space di acara JRSC selain ngurusin event?
Andre, Tri, Harri:
Mereka jadi curator ya, atau penghubung untuk komunikasi ke band-band pengisi ya. Arisan Warisan si yang resmi menjadi jembatan lah. Yang mengkurasi band-band apa saja yang akan bermain di RSD 2025 kemarin.
Kan kita buka submission, ada 100-an band yang masuk. Sama Arisan Warisan juga dibantu, untuk mencari 10 artist atau performer yang akan main di RSD 2025. itu gila itu 100 band. Syaratnya pokoknya buat band atau musisi yang punya rilisan fisik.
Harri Pa’de:
Kalau gak punya juga banyak yang pengen main di RSD 2025 itu. Pada ndaftar itu band-bandnya. Itu kalau mau tak kasih, masih ada daftarnya.
Apakah Anda merilis sesuatu di RSD? Ya/Tidak, akan kami usahakan.
Andre:
Ya mungkin sekarang kan sudah banyak kolektif mas. Jaringannya juga sudah luas, lebih banyak yang bantu itu. Jaringannya mas Hari aja sudah ngeri itu.
Jadi band yang tampil di RSD kemarin juga merilis rilisan fisik baik kaset, CD, dan atau Vinyl?
Harri Pa’de:
Oh iya. Rilisannya juga banyak yang sold out ko. Banyak band-band yang nitipin jualan. Ini ada lampirannya ini. Kayak kaset, CD, bahkan ada yang rilis Vinyl, khusus. Satu-satunya band yang rilis vinyl. Itu Babon, Desert Rose. Cari aja, tropical dessert. Kalau yang aku tau cuma dia yang rilis vinyl, kalo yang lain belum tau. Wong banyak banget antusiasme kaos RSD, itu juga kita batasi, masih ada yang Pre Order kaos RDS 2025 itu sekarang.
Seperti apa permintaan merchandise JRSC khusus RSD 2025?
Harri Pa’de:
Kita cetak 4 lusin habis. masih ada yang Pre Order. Cuma kaos aja yang paling laku, kalo totebagnya kurang. Karena masih banyak yang tanya, kita buka lagi PO.
10th Jogja Record Store Club, Sukses Sedot 5000 Pengunjung di RSD 2025
Apa proyeksi JRSC selanjutnya?
Hari, Tri, Andre:
Ya kalo ke depan tetap sama. Lebih memperhatikan aktivasi, terlibat di Cherry Pop. JRSC gak cuma di Jogja lah. Ya kalo bisa RSD Jogja jadi acuan lah, gak cuma di Jakarta aja, soalnya selama ini yang disorot cuma pusat aja. Karena animo tinggi juga gitu, yang Jakarta kan sudah menguasai. Yang Bandung malah gak ada suaranya, sampai saat ini belum ada sinyal.
Biasanya Jogja dulu, baru kemudian Semarang, Solo, Klaten itu ngikutin. Kita kan sesuai dengan jadwal international, kemarin tanggal 12 April 2025, oh yaudah gak mundur. Kalau yang lain kan ada yang mundur, kalau Malang itu malah bulan Mei kalo gak salah. Kalo JRSC, tanggal 12 April, tanggal records store dunia, yaudah tanggal itu.
Kalau menggabungkan kesadaran untuk melapak itu haru sering ya. Untuk menyadarkan bahwa rilisan fisik itu memang menjadi salah satu monumen bersejarah bagi sebuah band/musisi. Ya era sekarang, rilis digital itu memang perlu. Tetapi apa yang sudah dilakukan sebuah band, jika ditilik dari 10 tahun yang lalu acara pertama JRSC itu kan bagus nih perkembangannya. Karena kesadaran itu kan buah dari beberapa tahun yang lalu. Bayangkan aja kalau mulai hari ini tidak ada kesadaran untuk membuat rilisan fisik, maka kita gak bisa ngelapak dong, para pedagang mau jualan apa gitu kan. Jadi pentingnya rilisan fisik juga sebagai media publikasi karya mereka gitu.
Ya ini manifestasi aja si, dari 10 tahun yang lalu, intinya Sekarang itu yang dituai gitu. Jadi hasilnya tambah besar. Banyak juga tanggapan positif sih, makin keren, makin rame selama beberapa tahun kebelakang.
Banyak juga yang menyangsikan, kok tempatnya di Pasar, nanti becek, nanti sempit, ya tahu sendiri lah stigmanya pasar kan gitu. Banyak orang mikirnya seperti itu, ternyata yang hadir justru antusiasmenya tinggi.
Berapa estimasi pengunjung RSC 2025? 1000 orang?
Harri Pa’de:
Lebih. Dua hari kemarin ya kira-kira 5000 pengunjung. Lebih dikit lah. Wong pihak pasarnya aja sampai minta, mas kalau bisa bikin seminggu sekali. tiap minggu ya.
Andre:
Kulinernya juga laris itu yang di pasar. Ya itu sih kita juga menganggapnya itu sebagai ajang silaturahmi. Selebihnya itu bonus. dan JRSC membuka ruang-ruang silaturahmi itu dengan Kultura Space, koloni gigs, dan simak siar, seperti itu kan.
Kita dari dulu sudah Lelah mengurusin semuanya sendiri, sekarang kita serahkan ke orang lain, jadi terbantu lah. Kita cuma ngelapak aja. Ternyata malah semakin banyak kolaborasi dengan pihak lain. Masih ada temen-temen muda yang bisa diajak kolaborasi, dan bersinergi, kenapa enggak. Gitu. Mudah-mudahan juga bisa membawa keuntungan bagi semua pihak. Temen-temen Simak Siar aja sampai dapet berapa juta gitu. Itu patungan atau urunan seikhlasnya.
Oke. Berarti bisa dibilang saat ini ekosistem yang dibuat kawan-kawan JRSC sudah jadi?
Hari, Tri, Andre:
Ya ekosistemnya sudah sehat, sudah jalan. Malah udah bagus, apalagi kalau lebih dirangcang lagi ide-idenya. Mereka juga gak ngerepotin pelapak, mandiri. Masing-masing sudah tau porsinya. Ya jadi Alhamdulillah sudah berjalan.
